<strong>Bengkulu</strong> - Ketika membicarakan bisnis dan hukum, sering kali muncul anggapan bahwa keduanya adalah dua dunia yang berbeda. Dunia bisnis berorientasi pada keuntungan, sementara hukum berorientasi pada kepastian dan keadilan. Namun, pembaruan hukum pidana melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang baru, sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 2023, mencoba memadukan keduanya dalam bingkai moralitas. KUHP baru menandai pergeseran penting: dari hukum yang semata mengatur perilaku, menuju hukum yang mencerminkan nilai-nilai etika dan tanggung jawab sosial dalam dunia ekonomi modern. <strong>Bisnis dan Moralitas: Bukan Sekadar Urusan Untung Rugi</strong> Dalam praktiknya, dunia bisnis tidak bisa dilepaskan dari dimensi moral. Perusahaan bukan hanya entitas pencari laba, tetapi juga bagian dari masyarakat yang memiliki tanggung jawab sosial (corporate social responsibility). Ketika sebuah bisnis mengabaikan prinsip moral — misalnya dengan melakukan penipuan, manipulasi laporan keuangan, eksploitasi pekerja, atau pencemaran lingkungan — maka pelanggaran tersebut bukan hanya soal etik, tetapi juga bisa masuk ke ranah pidana.<!--nextpage--> KUHP baru menyadari pentingnya nilai moral ini. Melalui Pasal 45 hingga 50, KUHP menegaskan tanggung jawab pidana korporasi, di mana perusahaan dapat dijatuhi sanksi pidana seperti denda, pembatasan kegiatan, bahkan pembubaran. Ini mencerminkan bahwa hukum kini tidak hanya mengatur individu, tetapi juga menuntut integritas dari lembaga ekonomi. <strong>Dari Etika ke Hukum: Transformasi Nilai dalam KUHP Baru</strong> Sebelum KUHP baru diberlakukan, banyak pelanggaran etika bisnis sulit dijerat hukum karena tidak termasuk kategori pidana. Misalnya, praktik kartel atau penyalahgunaan kekuasaan ekonomi baru bisa diproses bila terbukti menimbulkan kerugian besar atau melanggar undang-undang sektoral. Namun, KUHP baru memperluas pendekatan ini dengan memasukkan nilai-nilai moral ke dalam tujuan pemidanaan. Pasal 52 ayat (1) menegaskan bahwa pemidanaan bertujuan “untuk memperbaiki pelaku, memulihkan korban, dan menjaga keseimbangan masyarakat.” Artinya, hukum kini bukan hanya menghukum, tetapi juga mengembalikan keseimbangan moral dalam masyarakat ekonomi.<!--nextpage--> Transformasi ini menjadikan hukum pidana sebagai alat pendidikan sosial — mendorong pelaku bisnis untuk menjunjung tinggi kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab, bukan sekadar mematuhi aturan tertulis. <strong>Moralitas Sebagai Pilar Ekonomi Berkelanjutan</strong> Krisis ekonomi global, skandal keuangan, dan kasus korporasi besar yang merugikan publik membuktikan bahwa bisnis tanpa moralitas akan runtuh pada waktunya. Moralitas menjadi fondasi keberlanjutan — bukan hanya bagi reputasi, tetapi juga bagi kelangsungan ekonomi nasional. Dalam konteks ini, KUHP baru dapat menjadi pengingat bahwa keadilan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari keadilan moral. Hukum pidana berperan sebagai pagar etik yang melindungi kepentingan publik dari keserakahan dan penyalahgunaan kekuasaan ekonomi. Pelaku bisnis yang patuh pada etika tidak perlu takut terhadap hukum; justru hukum hadir untuk melindungi mereka dari persaingan tidak sehat dan praktik kecurangan. <strong>Tantangan Implementasi: Antara Norma dan Realitas</strong> Meski arah moralitas hukum dalam KUHP baru patut diapresiasi, tantangan besar tetap ada.<!--nextpage--> <strong>Pertama</strong>, penegakan hukum yang selektif dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik. Bila hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka nilai moral yang ingin ditegakkan akan kehilangan maknanya. <strong>Kedua</strong>, budaya hukum di kalangan pelaku usaha perlu dibangun melalui edukasi dan keteladanan, bukan sekadar ancaman pidana. <strong>Ketiga</strong>, perlu sinkronisasi antara KUHP dan undang-undang sektoral seperti UU Perseroan Terbatas, UU Persaingan Usaha, dan UU Perlindungan Konsumen agar tidak terjadi tumpang tindih. <strong>Penutup</strong> KUHP baru memberi arah baru bagi hubungan antara hukum dan bisnis: dari sekadar penegakan aturan menuju peneguhan nilai moral dalam kehidupan ekonomi. Ia menegaskan bahwa hukum bukanlah musuh dunia usaha, tetapi mitra etis untuk membangun peradaban ekonomi yang jujur, adil, dan berkelanjutan. Dengan demikian, moralitas bisnis bukan lagi sekadar pilihan etis, tetapi menjadi kewajiban hukum. Dan pada akhirnya, bangsa yang menegakkan moral dalam hukumnya adalah bangsa yang sedang menegakkan masa depannya sendiri.<!--nextpage--> <strong>Oleh</strong>: Sae Bagus Sujono Dosen Pengampu : Dr. Herlita Erike, S.H.,M.H